Cartoon Cat Adalah Seorang

Cartoon Cat Adalah Seorang

Amalan yang Bisa Membawa Istri kepada Pahala dan Surga Allah

Sungguh, Islam memang luar biasa. Akad pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki muslim kepada wali seorang perempuan, selain bernilai ibadah, juga bernilai pahala. Bahkan, Allah akan menghadiahkan surga bagi mereka yang menikah. Tentu saja jika keduanya menjalani kehidupan pernikahannya sesuai syariat Islam.

Mari menadaburi nas-nas yang berkaitan dengan hal ini.

Pertama, mencintai pasangan karena Allah akan membawa kepada surga.

Perasaan tulus karena Allah akan membawa seseorang pada kemurnian cinta. Rida Allah lebih berharga dari segalanya, sehingga ia akan tulus mencintai pasangannya karena Allah Taala.

Umat muslim yang berbuat demikian, kelak akan diberikan hadiah oleh Allah Swt. berupa surga. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda,“Sesungguhnya orang-orang yang saling mencintai, kamar-kamarnya di surga nanti terlihat seperti bintang yang muncul dari Timur atau bintang Barat yang berpijar. Lalu ada yang bertanya, “Siapa mereka itu?” “Mereka itu adalah orang-orang yang mencintai karena Allah Azza wa Jalla.” (HR Ahmad).

Makin jelas bahwa saling mencintai karena Allah, baik amal dan akhlaknya, akan membawa kepada cinta yang hakiki.

Rasulullah saw. bersabda, “Tiga hal, apabila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman; apabila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibandingkan selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya, kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya bagaikan kebenciannya apabila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih).

Kedua, taat kepada suami akan berbuah surga.

Banyak sekali nas yang memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya. Tidak hanya itu, Allah juga akan memberikan pahala yang besar, bahkan Rasulullah saw. menjanjikan sesuatu yang paling menggiurkan, yaitu ia bisa masuk surga melewati pintu yang mana saja. Masyaallah.

Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang istri melaksanakan salat lima waktu, puasa Ramadan, menjaga kehormatannya, dan menaati suaminya, maka dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke dalam surga dari pintu yang mana saja.'” (HR Ahmad).

Seorang istri wajib menaati suaminya dalam seluruh perintah dan keinginannya, selama bukan berbuat dosa atau maksiat kepada Allah Swt., karena hak Allah Swt. lebih agung dari hak siapa pun. Oleh karenanya, menaati Allah harus lebih didahulukan dari siapa pun selain-Nya.

Ketiga, selalu mengharapkan rida suami.

Rasulullah saw. bersabda, “… Dan maukah aku tunjukkan kepada kalian perempuan ahli surga? Yaitu setiap istri yang penuh cinta kepada suami, serta penyayang kepada anaknya, yang ketika suaminya marah kepadanya ia berkata, ‘Inilah tanganku berada di tanganmu. Aku tidak bisa tidur memejamkan mata hingga engkau rida kepadaku.'” (HR An-Nasa’i).

Dari Ummu Salamah ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ

“Perempuan mana saja yang meninggal dunia, lantas suaminya rida padanya, maka ia akan masuk surga.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Rida suami yang saleh terhadap istrinya akan membawa sang istri kepada surga-Nya. Sebaliknya, ketidakridaan seorang suami terhadap istrinya akan membawa sang istri kepada neraka-Nya.

Al-Munawi rahimahullah berkata, “Suami adalah sebab yang memasukkan istri ke surga karena ridanya kepada istrinya dan sebab yang memasukkan istri ke neraka karena kemarahannya. Oleh karenanya, perbaguslah mempergaulinya dan janganlah menyelisihi perintahnya yang bukan maksiat kepada Allah.” [Faidhul Qodir, 3/78]

Keempat, melayani suami sepenuh hati.

Dalam sebuah hadis diterangkan bahwa perempuan baik yang disebut Rasulullah saw. adalah ia yang memberikan pelayanan kepada suaminya sebaik mungkin. Perempuan tersebut akan menjadi contoh teladan umat yang salihah dan sosok terbaik di mata Allah Swt., Rasul-Nya dan suaminya.

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Perempuan terbaik yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, tidak menyelisihi pada diri dan hartanya, melayani suami sebaik mungkin, dan menjauhkan suami dari benci.” (HR Ahmad).

“Seorang suami yang pulang ke rumah dalam keadaan gelisah dan tidak tenteram, kemudian sang istri menghiburnya, maka ia akan mendapatkan setengah dari pahala jihad.” (HR Muslim).

Kelima, perempuan yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga, pahalanya setara dengan laki-laki berjihad.

Seorang istri yang melakukan pekerjaan rumah tangga dengan penuh keikhlasan adalah muslimah istimewa. Ini karena semua pekerjaan rumah tangga yang dikerjakannya, pahalanya setara dengan upaya para mujahidin di jalan Allah Taala.

Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis, Anas bin Malik ra. mengatakan bahwa beberapa perempuan pernah mendatangi Rasulullah saw.. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, para lelaki mempunyai keistimewaan dapat pergi berjihad di jalan Allah, sedangkan kami tidak punya pekerjaan yang pahalanya setara dengan para mujahidin di jalan Allah.” Setelah mendengar penuturan para perempuan itu, maka Rasulullah saw. bersabda, “Pekerjaan rumah tangga seorang di antaramu, pahalanya setara dengan jihadnya para mujahidin di jalan Allah.”

Keenam, berhias untuk suami.

Seorang istri salihah yang mencintai suaminya akan berusaha merawat dirinya untuk menyejukkan pandangan mata suami sehingga suami tidak memandang perempuan lain yang bukan haknya.

Ia berhias ketika di rumah dan pada saat berada di samping suaminya. Ia memakai parfum yang menghangatkan penciuman suaminya, tetapi ia tidak memakainya ketika keluar rumah. Seorang istri yang berhias untuk suaminya bernilai ibadah. Seorang istri bisa berhias untuk suaminya kapan saja, sejauh tidak menyebabkan kewajibannya terlalaikan.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah disebutkan, “Pernah ditanyakan kepada Rasulullah saw., “Siapakah yang paling baik?” Jawaban beliau, “Yaitu, yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami saat diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR An-Nasa’i).

Ketujuh, menunjukkan cinta kepada suami saat di dekatnya.

Seorang istri hendaknya senantiasa menunjukkan rasa cintanya kepada suami, apalagi saat suami di dekatnya. Sebab, salah satu tujuan berumah tangga adalah untuk membentuk keluarga yang saling mencintai.

Rasulullah saw. bersabda, “… Dan maukah aku tunjukkan kepada kalian perempuan ahli surga? Yaitu, setiap istri yang penuh cinta kepada suaminya, serta penyayang kepada anaknya, yang ketika suaminya marah kepadanya, ia berkata, ‘Inilah tanganku berada di tanganmu. Aku tidak bisa tidur memejamkan mata hingga engkau rida kepadaku.'” (HR An-Nasa’i).

Kedelapan, gembira dan tersenyum di hadapan suami.

Selalu tersenyum dan menampakkan wajah berseri-seri di hadapan orang lain akan memberikan ketenteraman bagi orang yang melihatnya. Demikian halnya, selalu tersenyum dan berseri-seri terhadap orang-orang terdekat, seperti keluarga, kerabat, bahkan suami, tentu lebih dianjurkan.

Rasulullah saw. pernah berpesan kepada putrinya, Fatimah ra. agar senantiasa tersenyum dan menjaga raut muka berseri-seri di hadapan suami. Pasalnya, senyum seorang istri terhadap suaminya memiliki ganjaran besar dari AllahTaala.

Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Fatimah, tiada seorang istri yang tersenyum di hadapan suaminya, kecuali Allah akan memandangnya dengan pandangan kasih (rahmat).”

Masih banyak lagi amalan yang bisa membawa seorang perempuan yang telah menikah menuju pahala dan surga Allah Taala. Jika semua ini dilakukan, dengan izin Allah, kehidupan rumah akan selalu harmonis dan penuh kasih sayang.

Dengan memahami ini semua, sesungguhnya seorang perempuan tidak perlu takut menikah. Yang harus ia lakukan adalah terus memahami Islam dan melayakkan diri agar mendapat pasangan saleh yang diridai Allah Taala. Amin. Wallahualam bissawab. [MNews/YG]

Type of two-dimensional visual art

A cartoon is a type of visual art that is typically drawn, frequently animated, in an unrealistic or semi-realistic style. The specific meaning has evolved, but the modern usage usually refers to either: an image or series of images intended for satire, caricature, or humor; or a motion picture that relies on a sequence of illustrations for its animation. Someone who creates cartoons in the first sense is called a cartoonist,[1] and in the second sense they are usually called an animator.

The concept originated in the Middle Ages, and first described a preparatory drawing for a piece of art, such as a painting, fresco, tapestry, or stained glass window. In the 19th century, beginning in Punch magazine in 1843, cartoon came to refer – ironically at first – to humorous artworks in magazines and newspapers. Then it also was used for political cartoons and comic strips. When the medium developed, in the early 20th century, it began to refer to animated films that resembled print cartoons.[2]

A cartoon (from Italian: cartone and Dutch: karton—words describing strong, heavy paper or pasteboard and cognates for carton) is a full-size drawing made on sturdy paper as a design or modello for a painting, stained glass, or tapestry. Cartoons were typically used in the production of frescoes, to accurately link the component parts of the composition when painted on damp plaster over a series of days (giornate). In media such as stained tapestry or stained glass, the cartoon was handed over by the artist to the skilled craftsmen who produced the final work.

Such cartoons often have pinpricks along the outlines of the design so that a bag of soot patted or "pounced" over a cartoon, held against the wall, would leave black dots on the plaster ("pouncing"). Cartoons by painters, such as the Raphael Cartoons in London, Francisco Goya's tapestry cartoons, and examples by Leonardo da Vinci, are highly prized in their own right. Tapestry cartoons, usually colored, could be placed behind the loom, where the weaver would replicate the design. As tapestries are worked from behind, a mirror could be placed behind the loom to allow the weaver to see their work; in such cases the cartoon was placed behind the weaver.[2]

In print media, a cartoon is a drawing or series of drawings, usually humorous in intent. This usage dates from 1843, when Punch magazine applied the term to satirical drawings in its pages,[5] particularly sketches by John Leech. The first of these parodied the preparatory cartoons for grand historical frescoes in the then-new Palace of Westminster in London.[7]

Sir John Tenniel—illustrator of Alice's Adventures in Wonderland—joined Punch in 1850, and over 50 years contributed over two thousand cartoons.[8]

Cartoons can be divided into gag cartoons, which include editorial cartoons, and comic strips.

Modern single-panel gag cartoons, found in magazines, generally consist of a single drawing with a typeset caption positioned beneath, or, less often, a speech balloon. Newspaper syndicates have also distributed single-panel gag cartoons by Mel Calman, Bill Holman, Gary Larson, George Lichty, Fred Neher and others. Many consider New Yorker cartoonist Peter Arno the father of the modern gag cartoon (as did Arno himself).[10] The roster of magazine gag cartoonists includes Charles Addams, Charles Barsotti, and Chon Day.

Bill Hoest, Jerry Marcus, and Virgil Partch began as magazine gag cartoonists and moved to syndicated comic strips. Richard Thompson illustrated numerous feature articles in The Washington Post before creating his Cul de Sac comic strip. The sports section of newspapers usually featured cartoons, sometimes including syndicated features such as Chester "Chet" Brown's All in Sport.

Editorial cartoons are found almost exclusively in news publications and news websites. Although they also employ humor, they are more serious in tone, commonly using irony or satire. The art usually acts as a visual metaphor to illustrate a point of view on current social or political topics. Editorial cartoons often include speech balloons and sometimes use multiple panels. Editorial cartoonists of note include Herblock, David Low, Jeff MacNelly, Mike Peters, and Gerald Scarfe.[2]

Comic strips, also known as cartoon strips in the United Kingdom, are found daily in newspapers worldwide, and are usually a short series of cartoon illustrations in sequence. In the United States, they are not commonly called "cartoons" themselves, but rather "comics" or "funnies". Nonetheless, the creators of comic strips—as well as comic books and graphic novels—are usually referred to as "cartoonists". Although humor is the most prevalent subject matter, adventure and drama are also represented in this medium. Some noteworthy cartoonists of humorous comic strips are Scott Adams, Charles Schulz, E. C. Segar, Mort Walker and Bill Watterson.[2]

Political cartoons are like illustrated editorials that serve visual commentaries on political events. They offer subtle criticism which are cleverly quoted with humour and satire to the extent that the criticized does not get embittered.

The pictorial satire of William Hogarth is regarded as a precursor to the development of political cartoons in 18th century England. George Townshend produced some of the first overtly political cartoons and caricatures in the 1750s.[12] The medium began to develop in the latter part of the 18th century under the direction of its great exponents, James Gillray and Thomas Rowlandson, both from London. Gillray explored the use of the medium for lampooning and caricature, and has been referred to as the father of the political cartoon. By calling the king, prime ministers and generals to account for their behaviour, many of Gillray's satires were directed against George III, depicting him as a pretentious buffoon, while the bulk of his work was dedicated to ridiculing the ambitions of revolutionary France and Napoleon. George Cruikshank became the leading cartoonist in the period following Gillray, from 1815 until the 1840s. His career was renowned for his social caricatures of English life for popular publications.

By the mid 19th century, major political newspapers in many other countries featured cartoons commenting on the politics of the day. Thomas Nast, in New York City, showed how realistic German drawing techniques could redefine American cartooning. His 160 cartoons relentlessly pursued the criminal characteristic of the Tweed machine in New York City, and helped bring it down. Indeed, Tweed was arrested in Spain when police identified him from Nast's cartoons. In Britain, Sir John Tenniel was the toast of London. In France under the July Monarchy, Honoré Daumier took up the new genre of political and social caricature, most famously lampooning the rotund King Louis Philippe.

Political cartoons can be humorous or satirical, sometimes with piercing effect. The target of the humor may complain, but can seldom fight back. Lawsuits have been very rare; the first successful lawsuit against a cartoonist in over a century in Britain came in 1921, when J. H. Thomas, the leader of the National Union of Railwaymen (NUR), initiated libel proceedings against the magazine of the British Communist Party. Thomas claimed defamation in the form of cartoons and words depicting the events of "Black Friday", when he allegedly betrayed the locked-out Miners' Federation. To Thomas, the framing of his image by the far left threatened to grievously degrade his character in the popular imagination. Soviet-inspired communism was a new element in European politics, and cartoonists unrestrained by tradition tested the boundaries of libel law. Thomas won the lawsuit and restored his reputation.[17]

Cartoons such as xkcd have also found their place in the world of science, mathematics, and technology. For example, the cartoon Wonderlab looked at daily life in the chemistry lab. In the U.S., one well-known cartoonist for these fields is Sidney Harris. Many of Gary Larson's cartoons have a scientific flavor.

The first comic-strip cartoons were of a humorous tone.[18] Notable early humor comics include the Swiss comic-strip book Mr. Vieux Bois (1837), the British strip Ally Sloper (first appearing in 1867) and the American strip Yellow Kid (first appearing in 1895).

In the United States in the 1930s, books with cartoons were magazine-format "American comic books" with original material, or occasionally reprints of newspaper comic strips.[19]

In Britain in the 1930s, adventure comic magazines became quite popular, especially those published by DC Thomson; the publisher sent observers around the country to talk to boys and learn what they wanted to read about. The story line in magazines, comic books and cinema that most appealed to boys was the glamorous heroism of British soldiers fighting wars that were exciting and just.[20] DC Thomson issued the first The Dandy Comic in December 1937. It had a revolutionary design that broke away from the usual children's comics that were published broadsheet in size and not very colourful. Thomson capitalized on its success with a similar product The Beano in 1938.[21]

On some occasions, new gag cartoons have been created for book publication.

Because of the stylistic similarities between comic strips and early animated films, cartoon came to refer to animation, and the word cartoon is currently used in reference to both animated cartoons and gag cartoons. While animation designates any style of illustrated images seen in rapid succession to give the impression of movement, the word "cartoon" is most often used as a descriptor for television programs and short films aimed at children, possibly featuring anthropomorphized animals, superheroes, the adventures of child protagonists or related themes.

In the 1980s, cartoon was shortened to toon, referring to characters in animated productions. This term was popularized in 1988 by the combined live-action/animated film Who Framed Roger Rabbit, followed in 1990 by the animated TV series Tiny Toon Adventures.

Wikimedia Commons has media related to

in Wiktionary, the free dictionary.

Hanya orangTanpa orang

PotretSeluruh tubuhProfilPotret lebih lebar

Seorang Pengajar Praktik Adalah

Penulis: Najmah Saiidah

Muslimah News, KELUARGA — Belakangan ini, ramai diberitakan di media sosial tentang fenomena ketakutan menikah pada kalangan Gen Z, terutama kaum perempuannya. Penyebabnya adalah banyak permasalahan yang menimpa keluarga, seperti, perceraian, perselingkuhan, dan sebagainya.

Ini membuktikan bahwa mental generasi muda kita tidak sedang baik-baik saja. Di sisi lain, maraknya perselingkuhan membuktikan bahwa dalam kehidupan pernikahan terjadi kemaksiatan.

Kondisi ini tentu memprihatinkan. Kelompok yang satu takut untuk menikah, sedangkan kelompok lainnya justru mempermainkan pernikahan. Bagaimana sesungguhnya mereka memaknai sebuah pernikahan?

Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan kehidupan persahabatan antara suami dan istri sebagai persahabatan yang sempurna. Suami maupun istri dapat menikmati ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan yang mereka bangun bersama. Tentu saja dengan menjadikan akidah dan syariat Islam sebagai pijakan membangun rumah tangga. Bahkan dengan menikah, setiap muslim akan bisa menyempurnakan separuh agamanya, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نَصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي

“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah kepada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR Al-Baihaqi).

Jika demikian halnya, apa yang harus ditakutkan? Pernikahan adalah hukum syarak yang diperintahkan Allah Taala. Ini artinya, jika dilaksanakan akan mendatangkan pahala. Yang harus dilakukan adalah mempersiapkan pernikahan dengan matang, menguatkan keimanan, membekali diri dengan pemahaman Islam yang benar tentang pernikahan, memilih pasangan sesuai perintah Allah, yaitu memilih karena agamanya, dan tentu saja melayakkan diri untuk mendapatkan pasangan saleh.

Lebih dari itu, jika kita menelusuri nas-nas, akan mendapati bahwa pernikahan merupakan ladang pahala bagi dua insan, baik laki-laki yang nantinya menjadi suami, maupun perempuan yang nantinya setelah menikah akan menjadi istri.

Pernikahan Adalah Ladang Pahala dan Surga bagi Seorang Istri

Dalam sebuah hadis diceritakan oleh sahabat Hushain bin Mihshan bahwa bibinya pernah mendatangi Nabi saw. untuk suatu keperluan. Setelah urusannya selesai, Nabi bertanya kepadanya, “Wahai fulanah sudah bersuamikah kamu?” “Sudah,” jawabku. Beliau bersabda lagi,“Bagaimana kewajibanmu terhadap suamimu?” Aku menjawab, “Aku melayaninya dengan sungguh-sungguh kecuali dalam hal yang aku tidak mampu.” Beliau bersabda lagi,“Bagaimana kedudukanmu darinya? Sesungguhnya, suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR Hakim).

Dalam riwayat lain, “Apakah kamu mempunyai suami?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi, “Bagaimanakah sikapmu terhadapnya?” Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengabaikannya, kecuali terhadap sesuatu yang memang aku tidak sanggup.” Beliau bersabda, “Perhatikanlah posisimu terhadapnya. Sesungguhnya yang menentukan surga dan nerakamu terdapat pada (sikapmu terhadap) suamimu.” (HR Ahmad).

Sesungguhnya di dalam hadis ini Rasulullah saw. menegaskan kedudukan suami di hadapan istrinya. Bahwa sesungguhnya, suami adalah ladang pahala bagi istrinya. Artinya, apabila seorang istri berbakti kepada suaminya, maka surga Allah akan selalu menantinya. Sebaliknya, jika seorang istri durhaka kepada suaminya, maka nerakalah ancamannya.

Hadis lain menegaskan juga tentang hal ini, “Sekiranya aku boleh memerintahkan seseorang sujud kepada orang lain, maka akan aku perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya. Sekiranya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung Ahmar menuju Gunung Aswad, atau dari Gunung Aswad menuju gunung Ahmar, maka ia wajib untuk melakukannya.” (HR Ibnu Majah).